LAPORAN
PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
CARA
PEMBERIAN OBAT
DISUSUN OLEH :
1.
Fraditha mardhatillah
2.
Nindya
3.
Luthfi khairina
4.
Switiani eka yuliani
Kelas : c-1
Kelompok :3
Dosen pembimbing :
Dwityanti, M.Farm.,Apt.
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA
FAKULTAS
FARMASI DAN SAINS
PRODI
FARMASI
JAKARTA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sebagai mahasiswa farmasi, sudah
seharusnya kita mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan obat, baik dari segi
farmasetik, farmakodinamik, farmakokinetik, dan juga dari segi farmakologi.
Kali ini kami akan membahas dalam bab farmakologi obat dengan sub-bab rute
pemberian obat. Addpun yang melatar belakangi pengangkatan materi adalah agar
kita dapat mengetahui kaitan antara rute pemberian obat dengan waktu cepatnya
reaksi obat yang ditampakkan pertama kali.
B.
TUJUAN PRAKTIKUM
Tujuan
dari praktikum ini adalah:
1. Mengenal
teknik – teknik pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat
2. Mengevaluasi
efek yang timbul akibat pemberian obat yang sama melalui rute yang berbeda
3. Dapat
menyatakan beberapa konsekuensi praktis dari pengaruh rute pemberian obat
terhadap efeknya
4. Mengenal
manifestasi beberapa obat yang diberikan
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Rute
pemberian obat ( Routes of Administration ) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan
biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini
berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah
fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini
menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu
tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat.
Memilih
rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi
pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
a. Tujuan
terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik
b. Apakah
kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
c. Stabilitas
obat di dalam lambung atau usus
d. Keamanan
relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
e. Rute
yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter
f. Harga
obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam rute
g. Kemampuan
pasien menelan obat melalui oral.
Bentuk
sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang
diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi
obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik.
Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran
darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat misalnya salep.
Cara-cara
pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai adalah sebagai
berikut:
Cara/bentuk
sediaan parenteral
a. Intravena
Intravena
(IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, “onset of
action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang
menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu
untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek) (Joenoes, 2002).
Intravena
(i.v), yaitu disuntikkan ke dalam pembuluh darah. Larutan dalam volume kecil
(di bawah 5 ml) sebaiknya isotonis dan isohidris, sedangkan volume besar
(infuse) harus isotonis dan isohidris.
·
Tidak ada fase absorpsi, obat langsung
masuk ke dalam vena, onset of action segera.
·
Obat bekerja paling efisien, bioavilabilitas
100%
·
Obat harus berada dalam larutan air,
bila emulsi lemak partikel minyak tidak boleh lebih besar dari ukuran partikel
eritrosit, sediaan suspensi tidak banyak terpengaruh
·
Larutan hipertonis disuntikkan secara
lambat, sehingga sel-sel darah tidak banyak berpengaruh.
·
Zat aktif tidak boleh merangsang
pembuluh darah, sehingga menyebabkan hemolisa seperti saponin, nitrit, dan
nitrobenzol.
·
Sediaan yang diberikan umumnya sediaan
sejati.
·
Adanya partikel dapat menyebabkan
emboli.
·
Pada pemberian dengan volume 10 ml atau
lebih, sekali suntik harus bebas pirogen.
Keuntungan
rute ini adalah:
1. jenis-jenis
cairan yang disuntikkan lebih banyak dan bahkan bahan tambahan banyak digunakan
IV daripada melalui SC
2. cairan
volume besar dapat disuntikkan relatif lebih cepat
3. efek
sistemik dapat segera dicapai
4. level
darah dari obat yang terus-menerus disiapkan
5. kebangkitan
secara langsung untuk membuka vena untuk pemberian obat rutin dan menggunakan
dalam situasi darurat disiapkan.
Kerugiannya
adalah meliputi :
1. gangguan
kardiovaskuler dan pulmonar dari peningkatan volume cairan dalam sistem
sirkulasi mengikuti pemberian cepat volume cairan dalam jumlah besar
2. perkembangan
potensial trombophlebitis
3. kemungkinan
infeksi lokal atau sistemik dari kontaminasi larutan atau teknik injeksi
septik, dan
4. pembatasan cairan berair.
b. Intramuskular
Intramuskular
(IM) (“Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air yang lebih cepat
diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat dalam
sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat
tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel,
semakin cepat proses absorpsi) (Joenoes, 2002).
Intramuskular
(i.m), yaitu disuntikkan ke dalam jaringan otot, umumnya di otot pantat atau
paha.
·
Sediaan dalam bentuk larutan lebih cepat
diabsorpsi daripada susupensi pembawa air untuk minyak.
·
Larutan sebaiknya isotonis.
·
Onset bervariasi tergantung besar
kecilnya partikel
·
Sediaan dapat berupa larutan, emulsi,
atau suspensi.
·
Zat aktif bekerja lambat (preparat depo)
serta mudak terakumulasi, sehingga dapat menimbulkan keracunan.
·
Volume sediaan umumnya 2 ml sampai 20 ml
dapat disuntikkan kedalam otot dada, sedangkan volume yang lebih kecil
disuntikkan ke dalam otot-otot lain.
c. Subkutan
Subkutan
(SC) (“Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan dari
kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan,
menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat
tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase,
suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan) (Joenoes,
2002).
Subkutan
atau di bawah kulit (s.c) yaitu disuntikkan kedalam tubuh melalui bagian yang
sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit; volume yang
diberikan tidak lebih dari 1 ml.
·
Larutan sebaiknya isotonis dan isohidris
·
Larutan yang sangat menyimpang
isotonisnya dapt menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis dan absorpsi zat aktif
tidak optimal.
·
Onset of action obat berupa larutan
dalam air lebih cepat dari pada sediaan suspensi.
·
Determinan kecepatan absorpsi ialah
total luas permukaan tempat terjadinya penyerapan.
·
Absorpsi obat dapat diperlambat dengan
menambahkan Adrenaline (cukup 1:100.000-200.000) yang menyebabkan konsentriksi
pembuluh darah local, sehiongga difusi obat tertahan atau diperlambat.
contohnya injeksi Lidokaine Adrenaline untuk cabut gigi.
·
Sebaliknya, absorpi obat dapat
dipercepat dengan penambahan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah
mukopolisakarida dari matriks jaringan yang menuyebabkan penyebaran dipercepat.
·
Bila ada infeksi, maka bahayanya lebih
besar dari pada penyuntikkan ke dalam pembuluh darah karena pada pemberian
subkutan mikroba menetap di jaringan dan membentuk abses.
·
Zat aktif bekerja lebih lambat dari pada
secar i.v.
·
Pemberian s.c dalam jumlah besar dikenal
dengan nama Hipodermoklise.
d. Intratekal
Intratekal
(berkemampuan untuk mempercepat efek obat setempat pada selaput otak atau sumbu
serebrospinal, seperti pengobatan infeksi SSP yang akut) (Anonim, 1995).
e. intraperitonial
Intraperitonel
(IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim, 1995).Disini obat
langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek yang dihasilkan lebih cepat
dibandingkan intramuscular dan subkutan karena obat di metabolisme serempak
sehingga durasinya agak cepat.
Pemberian
obat per oral merupakan pemberian obat paling umum dilakukan karena relatif
mudah dan praktis serta murah. Kerugiannya ialah banyak faktor dapat
mempengaruhi bioavailabilitasnya (faktor obat, faktor penderita, interaksi
dalam absorpsi di saluran cerna) (Ansel, 1989).
Intinya
absorpsi dari obat mempunyai sifat-sifat tersendiri. Beberapa diantaranya dapat
diabsorpsi dengan baik pada suatu cara penggunaan, sedangkan yang lainnya tidak
(Ansel, 1989).
Absorpsi
merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Bergantung
pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut
sampai dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Cara pemberian
obat yang berbeda-beda melibatkan proses absorbsi obat yang berbeda-beda pula.
Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorbsi akan mempengaruhi efek
obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan.
Cara
pemberian obat yang paling umum dilakukan adalah pemberian obat per oral,
karena mudah, aman, dan murah . Dengan cara ini tempat absorpsi utama
adalah usus halus, karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni
200m2. Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah
dan didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dahulu harus mengalami absorbsi
pada saluran cerna.
Faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap proses absorbsi obat pada saluran cerna antara lain:
1. Bentuk
Sediaan
Terutama
berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat, yang secara tidak langsung dapat
mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Dalam bentuk sediaan yang
berbeda, maka proses absorpsi obat memerlukan waktu yang berbeda-beda dan
jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan.
2. Sifat
Kimia dan Fisika Obat
Bentuk
asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat mempengaruhi
kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau polimorfi,
kelarutan dalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga mempengaruhi proses
absorpsi [2]. Absorpsi lebih mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan
mudah larut dalam lemak.
3. Faktor
Biologis
Antara
lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran cerna,
waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya
pembuluh darah pada tempat absorpsi.
4. Faktor
Lain-lain
Antara
lain umur, makanan, adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya penyakit
tertentu.
Pemberian
obat di bawah lidah hanya untuk obat yang sangat larut dalam lemak, karena luas
permukaan absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut dan diabsorpsi dengan
sangat cepat, misalnya nitrogliserin. Karena darah dari mulut langsung ke vena
kava superior dan tidak melalui vena porta, maka obat yang diberikan melalui
sublingual ini tidak mengalami metabolisme lintas pertama oleh hati.
Kerugian
pemberian per oral adalah banyak faktor dapat mempengaruhi bioavaibilitas obat.
Karena ada obat-obat yang tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian
akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di
dinding usus dan atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ
tersebut (metabolisme atau eliminasi lintas pertama). Eliminasi lintas pertama
obat dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral,
sublingual, rektal, atau memberikannya bersama makanan.
Selain
itu, kerugian pemberian melalui oral yang lain adalah ada obat yang dapat
mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita, dan tidak
bisa dilakukan saat pasien koma.
BAB
III
METODELOGI
A.
ALAT DAN BAHAN
Alat :
1. Alat
suntik
2. Jarum
oral
3. Stopwatch
Bahan :
1. Mencit
jantan dan betina
2. Diazepam
B.
PROSEDUR KERJA
·
Pemberian secara oral
1. Ambil
mencit jantan / betina
2. Ambil
diazepam dengan alat suntik yang dilengkapi dengan sonde
3. Masukkan
dalam mulut mencit secara perlahan – lahan
4. Catat
waktunya
·
Pemberian secara intravena
1. Ambil
mencit jantan/ betina
2. Ambil
diazepan dengan alat suntik yang dilengkapi dengan jarum
3. Suntikkan
pada bagian pembuluh vena yang terdapat pada ekor mencit
·
Pemberian secara peritonial
1. Ambil
mencit jantan/ betina
2. Ambil
diazepam dengan alat suntik yang dilengkapi dengan jarum suntik
3. Bagi
bagian perut mencit menjadi 4 bagian
4. Suntikkan
pada bagian perut sebalah kanan bawah
·
Pemberian secara intramuskular
1. Ambil
mencit jantan / betina
2. Ambil
diazepan dengan alat suntik yang dilengkapi dengan jarum suntik
3. Suntikkan
pada bagian paha mencit
·
Pemberian secara subkutan
1. Ambil
mencit jantan / betina
2. Ambil
diazepam dengan alat suntik yang dilengkapi dengan jarum suntik
3. Suntikkan
pada bagian tekuk
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Data kelompok 1
Mencit
|
BB
|
Rute pemberian
|
Dosis (VAO)
|
T (waktu)
|
Respon
|
Jantan
|
O,039kg
|
Oral
|
0,195ml
|
1:10
menit
3:00
menit
3:52
menit
4:00
menit
9:23menit
10:12
menit
12:00
menit
|
Krg
agresif
Lebih
pusing
Diam
Atalaxia
Respon
menurun
Tdk
ada respon
Aktif
kembali
|
Jantan
|
0,032kg
|
IM
|
0,16ml
|
00:55
menit
1:54
menit
3:20
menit
3:28
menit
|
Agresif
menurun
Respon
menurun
Diam
Tdk
ada respon
|
Jantan
|
0,028kg
|
IP
|
0,14ml
|
2:50
menit
3:45
menit
6:03
menit
|
Sedikit
agresif
Atalaxia
Diam
|
Data kelompok 2
Mencit
|
BB
|
Rute pemberian
|
Dosis (VAO)
|
T (waktu)
|
Respon
|
Jantan
|
O,035kg
|
Oral
|
0,175ml
|
1:00menit
14:00
menit
|
Atalaxia
Aktif
kembali
|
Jantan
|
0,28kg
|
IM
|
0,14ml
|
3:00
menit
12:00
menit
|
Diam
Aktif
kembali
|
Jantan
|
0,028kg
|
IP
|
0,14ml
|
0:50
menit
5:00
menit
|
Atalaxia
Aktif
kembali
|
Data kelompok 3
Mencit
|
BB
|
Rute pemberian
|
Dosis (VAO)
|
T (waktu)
|
Respon
|
Betina
|
O,029kg
|
IP
|
0,145ml
|
1:20
menit
2:00
menit
2:51
menit
≥60
menit
|
Krg
agresif
Aktifitas
menurun
Diam
Belum
aktif
|
Jantan
|
0,025kg
|
IV
|
0,125ml
|
00:00
|
Agresif
|
Jantan
|
0,022kg
|
IP
|
0,11ml
|
0:00
menit
|
Agresif
|
Data kelompok 4
Mencit
|
BB
|
Rute pemberian
|
Dosis (VAO)
|
T (waktu)
|
Respon
|
Betina
|
O,029kg
|
IP
|
0,145ml
|
1:40
menit
6:30
menit
10:30
menit
|
Agresif
Menurun
Atalaxia
Diam
|
Jantan
|
0,032kg
|
IM
|
0,16ml
|
00:55
menit
1:54
menit
3:20
menit
3:28
menit
|
Agresif
menurun
Respon
menurun
Diam
Tdk
ada respon
|
Jantan
|
0,028kg
|
IP
|
0,14ml
|
2:50
menit
3:45
menit
6:03
menit
|
Sedikit
agresif
Atalaxia
Diam
|
Data kelompok 5
Mencit
|
BB
|
Rute pemberian
|
Dosis (VAO)
|
T (waktu)
|
Respon
|
Jantan
|
O,039kg
|
Oral
|
0,195ml
|
1:10
menit
3:00
menit
3:52
menit
4:00
menit
9:23menit
10:12
menit
12:00
menit
|
Krg
agresif
Lebih
pusing
Diam
Atalaxia
Respon
menurun
Tdk
ada respon
Aktif
kembali
|
Jantan
|
0,032kg
|
IM
|
0,16ml
|
00:55
menit
1:54
menit
3:20
menit
3:28
menit
|
Agresif
menurun
Respon
menurun
Diam
Tdk
ada respon
|
Jantan
|
0,028kg
|
IP
|
0,14ml
|
2:50
menit
3:45
menit
6:03
menit
|
Sedikit
agresif
Atalaxia
Diam
|
Mencit jantan
Mencit
|
BB
|
Rute pemberian
|
Dosis (VAO)
|
T (waktu)
|
Respon
|
Kelompok 1
|
O,028kg
|
IP
|
0,14ml
|
2:50
menit
3:45
menit
6:03
menit
|
Agresif
menurun
Atalaxia
Diam
|
Kelompok 2
|
0,028kg
|
IP
|
0,14ml
|
00:50menit
5:00
menit
|
Diam
Aktif kembali
|
Mencit betina
Mencit
|
BB
|
Rute pemberian
|
Dosis (VAO)
|
T (waktu)
|
Respon
|
|
Kelompok 3
|
O,029kg
|
IP
|
0,145ml
|
1:20
menit
2:00
menit
2:51
menit
≥60
menit
|
Krg
agresif
Aktifitas
menurun
Diam
Belum
aktif
|
|
Kelompok 4
|
0,029kg
|
IP
|
0,145ml
|
01:40menit
6:30
menit
10:30
menit
|
Agresif
menurun atalaxia
Diam
|
BAB
V
KESIMPULAN
DAFTAR
PUSTAKA
3. Anief,
Moh. 2000. Ilmu Meracik Obat. Gadjah Mada University Press :
Yogyakarta
4. Anonim.
1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Depkes RI : Jakarta
5. Tjay,
Tan Hoan dan Kirana Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan,
dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
6. Katzung,
B.G., 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik.Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC.