Senin, 28 Oktober 2013

cara pemberian obat

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
CARA PEMBERIAN OBAT
DISUSUN OLEH      :
1.      Fraditha mardhatillah
2.      Nindya
3.      Luthfi khairina
4.      Switiani eka yuliani
5.      Via agista
Kelas                           : c-1
Kelompok                   :3
Dosen pembimbing     :  Dwityanti, M.Farm.,Apt.

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA
FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
PRODI FARMASI
JAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Sebagai mahasiswa farmasi, sudah seharusnya kita mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan obat, baik dari segi farmasetik, farmakodinamik, farmakokinetik, dan juga dari segi farmakologi. Kali ini kami akan membahas dalam bab farmakologi obat dengan sub-bab rute pemberian obat. Addpun yang melatar belakangi pengangkatan materi adalah agar kita dapat mengetahui kaitan antara rute pemberian obat dengan waktu cepatnya reaksi obat yang ditampakkan pertama kali.
B.     TUJUAN PRAKTIKUM
Tujuan dari praktikum ini adalah:
1.      Mengenal teknik – teknik pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat
2.      Mengevaluasi efek yang timbul akibat pemberian obat yang sama melalui rute yang berbeda
3.      Dapat menyatakan beberapa konsekuensi praktis dari pengaruh rute pemberian obat terhadap efeknya
4.      Mengenal manifestasi beberapa obat yang diberikan











BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Rute pemberian obat ( Routes of Administration ) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat.

Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
a.       Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik
b.      Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
c.       Stabilitas obat di dalam lambung atau usus
d.      Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
e.       Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter
f.       Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam rute
g.      Kemampuan pasien menelan obat melalui oral.
Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat misalnya salep.
Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai adalah sebagai berikut:
Cara/bentuk sediaan parenteral
a.       Intravena
Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, “onset of action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek) (Joenoes, 2002).
Intravena (i.v), yaitu disuntikkan ke dalam pembuluh darah. Larutan dalam volume kecil (di bawah 5 ml) sebaiknya isotonis dan isohidris, sedangkan volume besar (infuse) harus isotonis dan isohidris.
·         Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset of action segera.
·          Obat bekerja paling efisien, bioavilabilitas 100%
·         Obat harus berada dalam larutan air, bila emulsi lemak partikel minyak tidak boleh lebih besar dari ukuran partikel eritrosit, sediaan suspensi tidak banyak terpengaruh
·         Larutan hipertonis disuntikkan secara lambat, sehingga sel-sel darah tidak banyak berpengaruh.
·         Zat aktif tidak boleh merangsang pembuluh darah, sehingga menyebabkan hemolisa seperti saponin, nitrit, dan nitrobenzol.
·         Sediaan yang diberikan umumnya sediaan sejati.
·         Adanya partikel dapat menyebabkan emboli.
·         Pada pemberian dengan volume 10 ml atau lebih, sekali suntik harus bebas pirogen.
Keuntungan rute ini adalah:
1.      jenis-jenis cairan yang disuntikkan lebih banyak dan bahkan bahan tambahan banyak digunakan IV daripada melalui SC
2.      cairan volume besar dapat disuntikkan relatif lebih cepat
3.      efek sistemik dapat segera dicapai
4.      level darah dari obat yang terus-menerus disiapkan
5.      kebangkitan secara langsung untuk membuka vena untuk pemberian obat rutin dan menggunakan dalam situasi darurat disiapkan.
Kerugiannya adalah meliputi :
1.      gangguan kardiovaskuler dan pulmonar dari peningkatan volume cairan dalam sistem sirkulasi mengikuti pemberian cepat volume cairan dalam jumlah besar
2.      perkembangan potensial trombophlebitis
3.      kemungkinan infeksi lokal atau sistemik dari kontaminasi larutan atau teknik injeksi septik, dan
4.       pembatasan cairan berair.

b.      Intramuskular
Intramuskular (IM) (“Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi) (Joenoes, 2002). 
Intramuskular (i.m), yaitu disuntikkan ke dalam jaringan otot, umumnya di otot pantat atau paha.
·         Sediaan dalam bentuk larutan lebih cepat diabsorpsi daripada susupensi pembawa air untuk minyak.
·         Larutan sebaiknya isotonis.
·         Onset bervariasi tergantung besar kecilnya partikel
·         Sediaan dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi.
·         Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta mudak terakumulasi, sehingga dapat menimbulkan keracunan.
·         Volume sediaan umumnya 2 ml sampai 20 ml dapat disuntikkan kedalam otot dada, sedangkan volume yang lebih kecil disuntikkan ke dalam otot-otot lain.
c.       Subkutan
Subkutan (SC) (“Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan) (Joenoes, 2002).
Subkutan atau di bawah kulit (s.c) yaitu disuntikkan kedalam tubuh melalui bagian yang sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit; volume yang diberikan tidak lebih dari 1 ml.
·         Larutan sebaiknya isotonis dan isohidris
·         Larutan yang sangat menyimpang isotonisnya dapt menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis dan absorpsi zat aktif tidak optimal.
·         Onset of action obat berupa larutan dalam air lebih cepat dari pada sediaan suspensi.
·         Determinan kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan tempat terjadinya penyerapan.
·         Absorpsi obat dapat diperlambat dengan menambahkan Adrenaline (cukup 1:100.000-200.000) yang menyebabkan konsentriksi pembuluh darah local, sehiongga difusi obat tertahan atau diperlambat. contohnya injeksi Lidokaine Adrenaline untuk cabut gigi.
·         Sebaliknya, absorpi obat dapat dipercepat dengan penambahan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan yang menuyebabkan penyebaran dipercepat.
·         Bila ada infeksi, maka bahayanya lebih besar dari pada penyuntikkan ke dalam pembuluh darah karena pada pemberian subkutan mikroba menetap di jaringan dan membentuk abses.
·         Zat aktif bekerja lebih lambat dari pada secar i.v.
·         Pemberian s.c dalam jumlah besar dikenal dengan nama Hipodermoklise.
d.      Intratekal
Intratekal (berkemampuan untuk mempercepat efek obat setempat pada selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pengobatan infeksi SSP yang akut) (Anonim, 1995).
e.       intraperitonial
Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim, 1995).Disini obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek yang dihasilkan lebih cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan karena obat di metabolisme serempak sehingga durasinya agak cepat.
Pemberian obat per oral merupakan pemberian obat paling umum dilakukan karena relatif mudah dan praktis serta murah. Kerugiannya ialah banyak faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya (faktor obat, faktor penderita, interaksi dalam absorpsi di saluran cerna) (Ansel, 1989).
Intinya absorpsi dari obat mempunyai sifat-sifat tersendiri. Beberapa diantaranya dapat diabsorpsi dengan baik pada suatu cara penggunaan, sedangkan yang lainnya tidak (Ansel, 1989).
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Cara pemberian obat yang berbeda-beda melibatkan proses absorbsi obat yang berbeda-beda pula. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorbsi akan mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan.
Cara pemberian obat yang paling umum dilakukan adalah pemberian obat per oral, karena mudah, aman, dan murah . Dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus, karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200m2. Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dahulu harus mengalami absorbsi pada saluran cerna.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorbsi obat pada saluran cerna antara lain:
1.      Bentuk Sediaan
Terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat, yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Dalam bentuk sediaan yang berbeda, maka proses absorpsi obat memerlukan waktu yang berbeda-beda dan jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan.
2.      Sifat Kimia dan Fisika Obat
Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat mempengaruhi kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau polimorfi, kelarutan dalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga mempengaruhi proses absorpsi [2]. Absorpsi lebih mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak.
3.      Faktor Biologis
Antara lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya pembuluh darah pada tempat absorpsi.
4.      Faktor Lain-lain
Antara lain umur, makanan, adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya penyakit tertentu.
Pemberian obat di bawah lidah hanya untuk obat yang sangat larut dalam lemak, karena luas permukaan absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut dan diabsorpsi dengan sangat cepat, misalnya nitrogliserin. Karena darah dari mulut langsung ke vena kava superior dan tidak melalui vena porta, maka obat yang diberikan melalui sublingual ini tidak mengalami metabolisme lintas pertama oleh hati.
Kerugian pemberian per oral adalah banyak faktor dapat mempengaruhi bioavaibilitas obat. Karena ada obat-obat yang tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus dan atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut (metabolisme atau eliminasi lintas pertama). Eliminasi lintas pertama obat dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral, sublingual, rektal, atau memberikannya bersama makanan.
Selain itu, kerugian pemberian melalui oral yang lain adalah ada obat yang dapat mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita, dan tidak bisa dilakukan saat pasien koma.













BAB III
METODELOGI
A.    ALAT DAN BAHAN
Alat     :
1.      Alat suntik
2.      Jarum oral
3.      Stopwatch
Bahan  :
1.      Mencit jantan dan betina
2.      Diazepam

B.     PROSEDUR KERJA
·         Pemberian secara oral
1.      Ambil mencit jantan / betina
2.      Ambil diazepam dengan alat suntik yang dilengkapi dengan sonde
3.      Masukkan dalam mulut mencit secara perlahan – lahan
4.      Catat waktunya
·         Pemberian secara intravena
1.      Ambil mencit jantan/ betina
2.      Ambil diazepan dengan alat suntik yang dilengkapi dengan jarum
3.      Suntikkan pada bagian pembuluh vena yang terdapat pada ekor mencit
·         Pemberian secara peritonial
1.      Ambil mencit jantan/ betina
2.      Ambil diazepam dengan alat suntik yang dilengkapi dengan jarum suntik
3.      Bagi bagian perut mencit menjadi 4 bagian
4.      Suntikkan pada bagian perut sebalah kanan bawah
·         Pemberian secara intramuskular
1.      Ambil mencit jantan / betina
2.      Ambil diazepan dengan alat suntik yang dilengkapi dengan jarum suntik
3.      Suntikkan pada bagian paha mencit
·         Pemberian secara subkutan
1.      Ambil mencit jantan / betina
2.      Ambil diazepam dengan alat suntik yang dilengkapi dengan jarum suntik
3.      Suntikkan pada bagian tekuk
















BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data kelompok 1
Mencit
BB
Rute pemberian
Dosis (VAO)
T (waktu)
Respon

Jantan
O,039kg
Oral
0,195ml
1:10 menit
3:00 menit
3:52 menit
4:00 menit
9:23menit
10:12 menit
12:00 menit
Krg agresif
Lebih pusing
Diam
Atalaxia
Respon menurun
Tdk ada respon
Aktif kembali
Jantan
0,032kg
IM
0,16ml
00:55 menit
1:54 menit
3:20 menit
3:28 menit
Agresif menurun
Respon menurun
Diam
Tdk ada respon
Jantan
0,028kg
IP
0,14ml
2:50 menit
3:45 menit
6:03 menit
Sedikit agresif
Atalaxia
Diam

Data kelompok 2
Mencit
BB
Rute pemberian
Dosis (VAO)
T (waktu)
Respon

Jantan
O,035kg
Oral
0,175ml
1:00menit
14:00 menit
Atalaxia
Aktif kembali
Jantan
0,28kg
IM
0,14ml
3:00 menit
12:00 menit
Diam
Aktif kembali
Jantan
0,028kg
IP
0,14ml
0:50 menit
5:00 menit
Atalaxia
Aktif kembali

Data kelompok 3
Mencit
BB
Rute pemberian
Dosis (VAO)
T (waktu)
Respon

Betina
O,029kg
IP
0,145ml
1:20 menit
2:00 menit
2:51 menit
≥60 menit
Krg agresif
Aktifitas menurun
Diam
Belum aktif
Jantan
0,025kg
IV
0,125ml
00:00
Agresif
Jantan
0,022kg
IP
0,11ml
0:00 menit
Agresif

Data kelompok 4
Mencit
BB
Rute pemberian
Dosis (VAO)
T (waktu)
Respon

Betina
O,029kg
IP
0,145ml
1:40 menit
6:30 menit
10:30 menit
Agresif Menurun
Atalaxia
Diam
Jantan
0,032kg
IM
0,16ml
00:55 menit
1:54 menit
3:20 menit
3:28 menit
Agresif menurun
Respon menurun
Diam
Tdk ada respon
Jantan
0,028kg
IP
0,14ml
2:50 menit
3:45 menit
6:03 menit
Sedikit agresif
Atalaxia
Diam

Data kelompok 5
Mencit
BB
Rute pemberian
Dosis (VAO)
T (waktu)
Respon

Jantan
O,039kg
Oral
0,195ml
1:10 menit
3:00 menit
3:52 menit
4:00 menit
9:23menit
10:12 menit
12:00 menit
Krg agresif
Lebih pusing
Diam
Atalaxia
Respon menurun
Tdk ada respon
Aktif kembali
Jantan
0,032kg
IM
0,16ml
00:55 menit
1:54 menit
3:20 menit
3:28 menit
Agresif menurun
Respon menurun
Diam
Tdk ada respon
Jantan
0,028kg
IP
0,14ml
2:50 menit
3:45 menit
6:03 menit
Sedikit agresif
Atalaxia
Diam

Mencit jantan
Mencit
BB
Rute pemberian
Dosis (VAO)
T (waktu)
Respon

Kelompok 1
O,028kg
IP
0,14ml
2:50 menit
3:45 menit
6:03 menit
Agresif menurun
Atalaxia
Diam
Kelompok 2
0,028kg
IP
0,14ml
00:50menit
5:00 menit
Diam
 Aktif kembali

Mencit betina
Mencit
BB
Rute pemberian
Dosis (VAO)
T (waktu)
Respon


Kelompok 3
O,029kg
IP
0,145ml
1:20 menit
2:00 menit
2:51 menit
≥60 menit
Krg agresif
Aktifitas menurun
Diam
Belum aktif
Kelompok 4
0,029kg
IP
0,145ml
01:40menit
6:30 menit
10:30 menit
Agresif menurun atalaxia
Diam






















BAB V
KESIMPULAN




















DAFTAR PUSTAKA
3.      Anief, Moh.  2000.  Ilmu Meracik Obat. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta
4.      Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Depkes RI : Jakarta
5.      Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
6.      Katzung, B.G., 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik.Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC.